Menkumham dan Menag dengan Tegas Menolak Pelegalan Pernikahan Beda Agama

- 4 Juli 2022, 21:00 WIB
Ilustrasi pernikahan. Pemerintah dengan tegas menyatakan menolak pelegalan pernikahan beda agama.
Ilustrasi pernikahan. Pemerintah dengan tegas menyatakan menolak pelegalan pernikahan beda agama. /Pixabay/StockSnap

RINGTIMES SITUBONDO - Mengenai pelegalan pernikahan beda agama yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan tegas Pemerintah menolak hal tersebut.

Penolakan tersebut disampaikan saat sidang judicial review Undang-Undang (UU) Perkawinan yang diajukan oleh warga Papua, E. Ramos Petege.

Diketahui, ia mengajukan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan nomor perkara 24/PUU-XX/2022.

Baca Juga: Bukan untuk Dikonsumsi Atau Kesenangan Semata, Pemakaian Ganja Diizinkan untuk Penelitian Medis

Terkait hal tersebut, Pemerintah melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kamaruddin Amin menyampaikan keputusannya.

"Menolak Permohonan Pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak‑tidaknya menyatakan Permohonan Pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," ujar Kamaruddin Amin saat sidang pada 6 Juni 2022 lalu.

Artikel ini sebelumnya telah terbit di Pikiran Rakyat dengan judul: Sidang di MK, Menkumham-Menag Tegas Tolak Legalkan Pernikahan Beda Agama

Sikap pemerintah ini diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas.

Baca Juga: Ini Alasan Harga Tiket ke Pulau Komodo yang Fantastis, per Orangnya Mencapai Rp3,75 Juta

Pemerintah kemudian membeberkan alasan dilegalkannya pernikahan beda agama seperti yang diajukan pemohon.

"Makna hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 Undang‑Undang Dasar Tahun 1945 sebagai batu uji Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang‑Undang Perkawinan oleh Pemohon telah ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama," tutur Kamaruddin Amin.

Menurut Pemerintah, hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda-beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan.

Baca Juga: Mahfud MD Sebut 1 Juta Formasi CPNS dan PPPK 2022 akan Segera Dibuka

"Suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya perkawinan adalah syarat‑syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‑masing pasangan calon mempelai," ujar Kamaruddin Amin.

"Dan terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara guna memberikan jaminan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik perkawinan," ucapnya menambahkan.

Pemerintah juga menegaskan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang‑Undang Perkawinan justru telah memberikan kepastian hukum bagi setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan sesuai dengan hukum perkawinan agama dan kepercayaan yang dianut tidak dengan cara melaksanakan perkawinan beda agama.

Baca Juga: Gus Miftah: Orang yang Meragukan Rezeki Berarti Meragukan Sang Pemberi Rezeki

"Bahwa justru kehendak Pemohon untuk melaksanakan perkawinan beda agama, bahkan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan yang dianut, tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar Tahun 1945, dan ketentuan peraturan perundang‑undangan lainnya," kata Kamaruddin Amin.

Pemerintah juga menegaskan bahwa pernikahan beda agama dan kepercayaan tidak diperbolehkan atas dasar HAM dan kebebasan.

Hal itu adalah karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang‑undang dengan maksud semata‑mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‑nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Baca Juga: SPT, Surat Sakti yang Bisa Ditanyakan kepada Polisi Ketika Razia Berlangsung

"Sehingga tidaklah mungkin di negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar Tahun 1945 atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan setiap orang dapat sebebas‑bebasnya melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan karena bisa jadi pelaksanaan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan justru akan melanggar hak konstitusional orang lain yang seharusnya dihormati (respected), dilindungi (protected) oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana tercantum dalam Undang‑Undang Dasar Tahun 1945," tutur Kamaruddin Amin.

Sebelumnya, pemohon atas nama E. Ramos Petege mengaku gagal menikahi kekasihnya yang beragama Islam karena terhambat oleh UU Perkawainan.

"PEMOHON adalah Warga Negara Perseorangan yang memeluk agama Khatolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam," ujarnya dalam surat permohonan.

"Akan tetapi setelah menjalin hubungan selama 3 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda," ucap E. Ramos Petege menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari situs resmi MK, Senin, 4 Juli 2022.(Eka Alisa Putri/Pikiran Rakyat)***

Editor: Suci Arin Annisa

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Terkait

Terkini